AADJ: Ada Apa Dengan Jouska

Beberapa waktu belakangan, nama Jouska marak berlalu lalang di media sosial dan portal berita online berkat unggahan viral salah satu klien yang mengaku kehilangan belasan juta melalui skema investasi dari Jouska. Sebagai orang yang baru bekerja di dunia teknologi finansial alias tekfin, dengan patriotisme terhadap literasi keuangan yang masih membara, saya merasa wajib untuk menyampaikan klarifikasi.

Masih jauh perjuangan kami, para pegiat tekfin, untuk meningkatkan literasi keuangan, eeh… perusahaan seperti Jouska yang punya hampir sejuta followers di media sosial malah bikin ulah. Yo ambyar lah  kepercayaan masyarakat yang dasarnya juga udah setipis dompet masing-masing itu untuk berinvestasi. Ibarat karena nila setitik, rusak susu sepanci. Kan kampret!

Buat kalian yang tidak kenal siapa atau apa itu Jouska, kalian tidak sendirian. Saya tadinya juga tidak tahu menahu mengenai Jouska sebelum kasus terakhir kemarin booming ke permukaan. Kayak saya bilang tadi, saya juga masih noob di industri fintech.  Saya pikir Jouska itu sejenis influencer investasi seperti @thewokesalaryman karena keberadaannya sangat eksis di Instagram. Lah tibakno de’e iku perusahaan perencana keuangan alias financial planner

Perusahaan semacam itu sebetulnya bukan yang pertama di masa perekonomian modern seperti sekarang. Yang aneh adalah, kalau sebuah perusahaan perencana keuangan tibakno malah nilep duit ratusan juta. Hmm…

Sebelum membahas soal kasus ini lebih jauh, saya ingin menjelaskan satu aturan dasar untuk menjalankan perusahaan keuangan. Jadi begini, karena berurusan dengan uang milik publik, maka setiap perusahan finansial memiliki peran dan kewajiban yang berbeda-beda dalam setiap transaksi finansial. Ada perusahaan yang tanggung jawabnya menjadi penyimpan uang publik seperti bank, dan ada yang berperan sebagai perantara transaksi pembayaran/payment gateway seperti Midtrans.

Setiap perusahaan tidak boleh memiliki lebih dari satu peranan tanpa melalui proses administratif, perizinan, dan audit yang super ketat untuk memastikan tidak adanya konflik kepentingan. Gampangnya, kalau kamu adalah seorang mahasiswa di suatu kelas Statistika,  ya kamu tidak bisa nyambi sebagai  asdos di kelas yang sama ,  karena hal itu berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Kamu ‘kan bisa aja memberi nilai A kepada diri sendiri tanpa mengerjakan tugas, lah wong  kamu asdosnya. Terus nanti kalau ada teman yang kamu nggak suka, bisa kamu kasih nilai D biar nggak lulus? Hadeeeh… Kalau seperti itu, statusmu jelas merugikan kepentingan teman-teman sekelas. Nah, perusahaan finansial juga tidak boleh seperti itu. Apalagi, ingat, yang menjadi tanggung jawab perusahaan finansial adalah uang milik publik,  dengan risiko penyalahgunaan yang bisa berdampak di hidup dan mati orang, terutama bagi rakyat jelata.

Oke, balik lagi ke Jouska.

Jouska memperkenalkan diri sebagai perusahaan penasihat keuangan. Tugas dan kewajiban financial advisor adalah memberikan analisa keuangan, saran, dan rekomendasi agar para klien berhasil mencapai tujuan finansialnya. Wes, ngono tok.

Tidak ada dalam kamus financial advisor untuk melakukan penjualan/pembelian suatu produk investasi tertentu atas nama siapapun. Oleh sebab itu, dalam transaksi pembelian sahamnya, Jouska bekerja sama dengan PT Amarta Investama (bukan Amartha yang Peer to Peer Lending ya, lain lagi itu). PT Amarta Investa kemudian bertindak sebagai eksekutor pembelian/penjualan saham klien-klien Jouska.

Anehnya, klien-klien Jouska itu ternyata tidak memberikan instruksi jual/beli saham sendiri. Segala proses penjualan/pembelian saham dilakukan oleh PT Amarta atas nama para klien. Dalam utasan twit yang ramai beredar, pembelian saham tanpa otorisasi inilah yang menjadi sumber segala sumber dari kasus ini, karena nilai saham yang dibeli terus menerus turun tanpa adanya aksi mitigasi risiko dari broker.

Normalnya, jika nilai saham terus turun, broker akan melakukan cut loss dengan menjual rugi atau melakukan aksi mitigasi risiko lain sehingga klien tidak mengalami banyak kerugian.

Cara PT Amarta melakukan eksekusi transaksi jual/beli saham tanpa instruksi dari klien itu saja sebetulnya  sudah jadi big red flag bagi perusahaan investasi. Harusnya, instruksi pembelian/penjualan wajib datang dari investor dan perusahaan perantara hanya melakukan aksi pembelian/penjualan. Jadi, untuk teman-teman yang mau memulai investasi, jangan mau kalau ada pihak manapun menawarkan jasa pengelolaan portofolio investasi di mana klien tidak perlu melakukan instruksi jual/beli.

Usut punya usut, CEO Jouska ternyata punya kepemilikan yang cukup besar di perusahaan Amarta Investa. Halah, mbulet ae… Ya ini yang tadi saya bilang konflik kepentingan. Jouska sebagai perusahaan perencana keuangan independen seharusnya tidak punya afiliasi langsung ke manajer investasi (MI), karena posisinya pasti memiliki bias untuk menyarankan klien agar menggunakan perusahaan MI miliknya. Red flag kedua.

Yang jadi gong untuk kasus Jouska ini adalah fakta bahwa baik Jouska maupun PT Amarta Investama tidak memiliki izin operasi dalam bidang keuangan dan bukan merupakan perusahaan yang diawasi oleh OJK. Lah, yok opooo, wkwkwk…. Tiwas rame, tibake durung resmi?!

Jouska terdaftar sebagai perusahaan yang memiliki bidang usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan dengan tujuan bisnis meliputi pertanian, peternakan, hingga perburuan. Sedangkan PT Amarta Investama yang didirikan pada 2017 terdaftar sebagai unit usaha perdagangan, industri pengolahan, transportasi, serta informasi dan komunikasi. Oleh sebab itu, per 24 Juli 2020 OJK dan Satgas Waspada Investasi menghentikan seluruh kegiatan operasi bisnis Jouska.

Sebenarnya, pertanyaan terbesar saya adalah, kok bisa para investor ini rela memberikan kuasa atas portofolio investasinya ke perusahaan yang belum terdaftar dan berizin OJK?

Mungkin masyarakat kita terlalu mudah percaya dengan media sosial. Terlalu mudah percaya dengan tanda centang biru dan banyaknya jumlah followers. Atau lebih parah lagi, mungkin masyarakat kita memang memiliki literasi keuangan yang rendah sehingga mudah tergiur dengan investasi-investasi bodong yang menjanjikan return tinggi.

Maka dari itu, saya sebagai salah satu orang yang berkecimpung di dunia tekfin, bakal rajin-rajin sharing biar kita bisa sama-sama mengedukasi diri dan orang sekitar soal printilan dunia keuangan, apalagi di era kejayaan e-money, pinjaman online, dan cryptocurrency seperti sekarang. Kalau urusan uang yang ada di depan mata dan bisa dipegang aja luput, gimana mau lihat uang yang cuma kelihatan di layar, coba?

Sampai ketemu di pembahasan berikutnya!

Leave a comment